Kamis, 29 Oktober 2015

Hits



Akhir-akhir ini semakin banyak akun-akun di medsos yang menggunakan kata ‘hits’ di belakangnya. Sebut saja ftpubhits, salah satu akun Instagram yang me-repost foto-foto unggahan kakak kakak yang dianggap cantik atau tampan di FTP UB. Selain FTP UB ada juga UB Sosialita di LINE yang cakupannya lebih luas yaitu seluruh UB.

Akun semacam ini mulai menjamur seingat saya saat saya mulai masuk UB, kurang lebih sekitar setahun yang lalu. Nggak tahu dari mana, kok tiba-tiba banyak sekali. Sebetulnya memang akun semacam itu hanya untuk lucu-lucuan saja, tidak mengukur apakah seseorang yang direpost memang hits atau tidak. Toh nggak ada tolak ukur yang mengatakan seseorang itu harus hits atau nggak. Tapi coba kita preteli satu-satu lalu kita kritisi.

 Menurut Cambridge Advanced Learners’ Dictionary, hits atau hit dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “sesuatu atau seseorang yang sangat populer atau sukses”. Populer sendiri di kamus yang sama diartikan sebagai “disukai, dinikmati, dan didukung oleh banyak orang”. Artinya, kalau semisal saya disebut hits, berarti saya “sangat disukai, dinikmati, dan didukung oleh banyak orang” dan sangat sukses.

Sukses di era kapitalisme—kalau saya boleh bilang, mengingat saya masih mahasiswa yang belum tahu apa-apa, tapi dengan kemampuan terbatas yang saya tafsirkan sendiri—seringkali diasosiasikan dengan keberhasilan mendapatkan banyak uang. Orang kaya, kalau kata parodi di TV. Tahu dari mana seseorang itu kaya? Ya lihat saja barang-barangnya. Baju mahal yang selalu ganti, sepatu merek, smartphone canggih, mobil mewah. Kadang orang berpikiran kalau orang kaya itu harus seperti itu. Selama ini memang orang kaya itu stereotipnya seperti itu. Tapi tahukah anda, sisi lain dari orang yang dianggap kaya?

Berdasarkan pengalaman saya bekerja di sebuah kafe di Malang, terlihat bahwa ternyata orang yang merasa dirinya biasa saja, ternyata bagi sebagian orang lain itu termasuk golongan kaya. Bayangkan. Di salah satu sudut di kota Malang—dan menurut saya tidak hanya satu tapi sebenarya banyak hanya nggak terekspos—ada sekelompok orang dengan tingkat pendidikan rendah yang berpikir untuk kuliah saja tidak. Jadi setelah lulus SMA (tentunya bukan SMA favorit), mereka langsung berpikir untuk kerja demi menghidupi diri dan keluarga. Beberapa teman yang saya kenal ternyata juga mengalami hal yang sama. Tidak terpikir sama sekali untuk bisa kuliah. Bagi mereka, kuliah itu untuk orang kaya. Mereka orang biasa, jadi nggak perlu kuliah. Padahal kalau dihitung-hitung, jumlah mahasiswa di kota Malang dengan orang usia mahasiswa yang tidak kuliah, kira-kira lebih banyak mana? Sebagai perkiraan, waktu saya masih Maba (mahasiswa baru), jumlah orang yang diterima di kampus UB angkatan 2014 sebanyak 11.000 orang, itu pembulatan ke bawah. Tahun ini angkatan 2015 yang diterima ada 13.000 orang. Jika dibandingkan mereka yang menyebut orang kuliah sebagai ‘orang kaya’, berarti banyak sekali orang kaya di Kota Malang. Sementara anak kuliah sendiri, banyak dagelan yang mengatakan anak kuliah itu miskin, cuma bisa makan enak waktu awal bulan terus akhir bulan nyemil promag.

Ada satu ironi lagi. Suatu sore saya berbincang dengan teman-teman waitress di beranda kafe. Waktu itu mereka menggosipkan tetangga salah satu dari mereka yang sama-sama ‘orang biasa’ tapi punya pacar yang naik avansa. Dan mereka semua terkagum-kagum kenapa bisa si orang biasa dapet pacar kaya yang punya mobil. Well, kalau saya sendiri—dan sebagian besar dari kita yang membaca tulisan ini—akan berpikir kalau avansa itu mobil yang harganya biasa saja. Dan berdasarkan survey sederhana, beberapa teman memiliki 2 atau 3 mobil dan mereka merasa hal itu normal. Kaya itu kalau mobilnya maserati, lamborgini, dan punya lebih dari 5. Jujur saya terkejut sekali waktu mendengar itu. Kok bisa sih mereka berpikir orang punya avansa itu kaya? Ini mereka yang (maaf) miskin atau teman-teman saya yang kaya? Waktu itu saya langsung nggak enak. Soalnya waktu awal-awal saya kerja di sana, tiap malem saya dijemput naik sedan.

Kalau di era modernisasi globalisasi dan iptek seperti sekarang, yang namanya kaya itu nggak harus dilihat dari mobilnya avansa atau maserati. Kalau di awal saya bicara soal sosmed, mari kita tinjau dari sisi sosmed. Jaman sekarang lawakannya, pergi kafe mahal terus pesen es teh, foto, terus pulang. Gunanya apa? Supaya eksis? Supaya kelihatan, “oh dia udah pernah nyoba kafe ini, berarti dia gak ketinggalan jaman.” Kalaupun beneran mau makan, esensinya sama kok. Supaya kelihatan kekinian dan nggak ketinggalan tren. Apalagi kalau fotonya pake tongsis sama superwide. Beuhh, kekinian banget. Hits banget. Info: ini saya sekaligus nulis refleksi juga.

Kalau udah foto, langsung deh unggah. Jaman sekarang orang-orang pakai macam-macam medsos biar hits juga. Nggak cukup punya IG, waktu muncul yang namanya 17 (yang menurut saya sama saja dengan IG jadi nggak saya install) langsung deh orang-orang pada berlomba-lomba menginstall trus update status, “17: yosics” seperti itu. Sedunia langsung bisa lihat betapa kekiniannya si ‘yosics’ yang foto di kafe terbaru terus ngasih like berupa bentuk hati. Nah di sini ada lagi fenomena yang saya amati yang menurut saya unik juga.

Kembali ke bahasan awal soal etimologi hits yang “sangat disukai dan didukung banyak orang”, kadang orang (bahkan saya sendiri, sebelum saya sadar dan menulis ini) mengukur popularitas berdasarkan jumlah like yang didapat. Fenomenanya di sini, ada yang namanya follow for follow, like for like, bahkan spam like yang buat saya aneh juga soalnya jaman saya dulu kok nggak ada. Jadi merasa tua heheh. Di sini, semisal ada akun IG yang namanya yosics, si yosics ini memfollow banyak orang dan difollback (follow back). Kadang orang yang saling memfollow ini nggak saling kenal. Pernah suatu hari tiba-tiba 4 orang yang nggak pernah kenalan sama saya tiba-tiba follow akun IG saya dan setelah diusut ternyata ada yang anak sekolah lain yang karena ngelihat saya komen di IGnya teman saya yang sekolah di sekolah yang sama jadi follow saya. Ada juga yang ternyata adiknya teman saya tapi saya nggak kenal. Sisanya yang 2 lagi, sampai sekarang saya nggak tahu. Waktu saya follback, mereka langsung spam like, artinya mereka me-like foto-foto lama yang saya upload. Kalau saya upload foto, 4 orang ini bakal nge-like foto saya. Aneh juga, padahal sebenarnya foto yang saya upload nggak jelas dan nggak ada sangkut-pautnya sama mereka, kok di-like ya. Seolah-olah mereka nggak peduli sama isi fotonya, pokoknya karena sudah difollback jadinya sebagai tanda terima kasih ya dilike. Kalau nggak difollback, diunfollow. Hmm. Leh ugha, kata anak kekinian, artinya ‘boleh juga’. Metode seperti ini jadinya bisa meningkatkan jumlah like dengan sangat drastis. Hukumnya, jumlah followers relatif berbanding lurus sama jumlah like. Dari pengamatan singkat minimal 10% followers melike foto kita. Jadi bayangkan kalau ada orang yang followersnya mencapai 1000, sekurang-kurangnya ada 100 orang yang bakal melike fotonya. Amazing sekali bukan? Terpenuhilah kriteria anak hits yang “sangat disukai dan didukung banyak orang”.

Problematika muncul ketika seseorang jadi pengejar kehits-an. Supaya bisa hits, jadi mereka harus 1. Kaya, 2. Punya banyak like di medsos. Kalau nggak kaya (yang notabene relatif) dan nggak banyak like, jadi nggak hits. Terus, apa masalahnya jadi orang nggak hits? Dihina? Dicemooh dicaci maki? Merasa kurang diterima di masyarakat? Ngerasa nggak kekinian? Apa nilai manusia sekarang cuma diukur berdasarkan kekayaan dan jumlah like? Kalau benar seperti itu, kayaknya dunia sekarang emang beneran aneh.

Selama sebulan bekerja di kafe, saya merasa ada gap antara saya dan teman-teman waitress di sana. Pertama, karena saya anak kuliah. Kedua, karena saya naik sedan. Ketiga, karena HP saya ukurannya paling besar dibandingkan HP teman-teman. Rasanya jadi ‘orang kaya’ di tengah kumpulan orang biasa, itu benar-benar canggung. Jadi susah membaur karena sungkan. Nggak tahu sih dari mereka masalah atau enggak, tapi dari saya sendiri rasanya nggak enak kalau mau nimbrung sama mereka. Bukannya sombong tapi nggak enak aja. Kok saya jadi beda sendiri. Ujung-ujungnya saya jadi mati kutu dan nggak banyak ngomong. Lain halnya kalau saya hangout sama temen-temen kampus. Kita bisa ngakak bareng, selfie-selfie bareng, dan ngobrol seputar mata kuliah ini itu yang kita semua sama-sama nggak paham, terus ngerasani dosennya. Lain lagi kalau saya main sama temen-temen saya yang suka sekali nyoba kafe dan nonton film terbaru di bioskop. Sebagai mahasiswa yang identik dengan anak kos (meski nggak ngekos), dompet saya nggak kuat kalau harus makan seperti itu dan nonton terus. Terasa banget ada kelas sosial di sini. Sistem kasta mungkin udah nggak ada, tapi kalau diamati dengan teliti sebenarnya ada lho kasta itu meskipun garisnya nggak kasat mata. Sedih juga kenapa di tanah air yang sama, bangsa yang sama, bahasa yang sama, kok harus terpisah seperti itu cuma gara-gara kekayaan? Kenapa nggak bisa kita sama-sama main bareng, ketawa bareng, dan kalau bisa, kuliah bareng juga? Saya pribadi sedih ngelihat temen-temen yang sampe nggak mikir kuliah. Kasihan, padahal mereka punya hak buat jadi orang intelektual dan jadi agents of change. Kalau kendalanya di kekurangan pegawai buat di toko atau kafe, di luar negeri seperti Jepang dan Australia kafe-kafe itu mempekerjakan anak kuliahan buat jadi part-timer. Jadi mereka nggak kekurangan pegawai dan anak-anak usia mahasiswa tetap bisa kuliah bahkan sambil kerja juga.

Hal ini nggak jauh beda sama urusan medsos. Anak-anak yang likenya di medsos banyak jadi secara nggak sadar ada kecenderungan buat pamer dan upload terus. Toh se-nggak jelas apapun fotonya tetep likenya banyak kok. Sekarang semisal saya upload foto pake sandal jepit di pantai, sama Chelsea Olivia upload foto yang sama dengan sandal jepit yang sama di pantai yang sama, pasti udah ketebak siapa yang jumlah likenya lebih banyak. Itu contoh ekstrem, tapi itulah yang ada di pikiran orang-orang yang likenya sedikit terus mbandingin sama temen sekolah yang likenya nyampe 100an. Saya tahu soalnya saya pernah ngalami sendiri. “Kok like saya nggak sebanyak dia ya? Apa karena dia lebih populer dari saya? Apa karena dia lebih kaya? Apa karena…” alasannya bisa banyak banget dan macem-macem. Jadinya saya ngerasa, “Ah, saya nggak hits” terus jadi down tanpa alasan jelas. Orang dewasa mungkin nggak ngalamin, tapi kalau ababil usia sekolah apalagi SMP-SMA pasti ngganggep hits itu udah jadi kebutuhan pokok ngalahin nasi. Buat anak kuliah, biarin nggak punya paket internet yang penting perut kenyang. Kalaupun upload foto ya buat upload-uploadan aja soalnya lagi pingin. Tapi ya nggak tahu lagi kalau ternyata masih ada orang dewasa yang berpikir seperti ini.

Saya nulis ini sambil berefleksi juga. Kadang masih ada juga pikiran seperti ini, tapi syukur pada Tuhan sekarang sudah banyak berkurang. Bagian Alkitab yang menyadarkan dan jadi pegangan saya dari Roma 7:15-26, 8:1-39. Panjang, tapi penting banget dan harus dibaca dari awal sampai habis. Setelah direnungkan dan dipergumulkan, saya jadi tahu kalau mengejar ke-hits-an itu nggak ada gunanya. Salah satu bagian yang pingin saya highlight di sini yaitu Roma 8:18.

“Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita”

Emang kalau kita nggak jadi anak hits, nggak kaya, mungkin ngerasa dicemooh, nggak diterima, nggak asik, dan lain-lain. Tapi ingat kalau hidup itu cuma sebentar dan cuma sekali, bro sis. YOLO. Soal YOLO kapan-kapan pingin saya ulas yang agak mendalam. Singkatnya, hidup yang cuma sebentar ini nanti bakal tergantikan sama kemuliaan. Di surga yang nggak ada lagi orang kaya orang miskin, orang eksis maupun kurang gaul, hits dan nggak hits. Semua bakal sama, setara. Imbang. Jadi, buat apa mengejar yang cuma sementara? Populer di dunia tapi nggak di akherat? Kalau saya sih mending bahagia akherat daripada bahagia cuma sebentar. Percuma. Sama aja kayak orang di-PHP. Awalnya doang seneng, terus terakhirnya nangis-nangis. Pertamanya “I will forever stay by your side” terakhirnya “Don’t you dare ever see me again”.

Jadi guys, girls, bro, sis, masihkah kita mau menjadi pengejar ke-hits-an? :)








Yosi Lau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar