Minggu, 15 November 2015

Ngapain Ke Gereja?

Tepatnya minggu yang lalu, (08/11/2015) Ko Febri* dalam khotbah mengatakan orang ke gereja itu ga 'define'  (menetapkan) dia adalah orang Kristen. Maksudnya, orang ga Kristen juga boleh dan bisa ke gereja.

Ceritanya, dari hasil survey kecil-kecilan di Group KR, ketika saya tanya :

Menurutmu/sharingkan singkat, alasan mengapa kamu ke gereja? (ikut kebaktian)

Jawabannya ada macam-macam, tapi saya akan bagi menjadi beberapa kategori kecil yaitu :

1. Alasan sosial :
Cari teman, mbarengi teman, kesepian di rumah ditinggal papa mama, pembantu, kucing peliharaan, cicak pun meninggalkan saya.

2. Alasan pengetahuan : Curiosity, apa saya nanti masuk sorga, apa saya nglakuin ini dosa, apa benar, apa boleh saya berbuat seperti ini, seperti apakah neraka, bagaimana saya harus bersikap, mengapa saya Kristen, ada apa di gereja A,B,C?, saya ingin tahu GEREJA itu kayak apa (survey). Saya ingin tahu musiknya gimana di Gereja yang gede itu, saya ingin tahu orang bisa bahasa roh.

3. Alasan psikologi :
Merasa bersalah, merasa kosong/hampa, merasa punya kewajiban (tanggung jawab), jenuh dengan kegiatan sehari-hari, menghindari tugas dirumah/disekolah.

4. Alasan habit/kebiasaan :
Biasa, dari kecil diajak ortu ke gereja, sampai remaja juga seakan-akan wajib ke gereja. Biasa ikut extra kurikuler, kepanitiaan, OSIS di sekolah  (gila tugas dan kegiatan) jadi jika ke gereja ada lahan untuk ‘berpartisipasi’ - kalau tidak diikuti merasa ada yang kurang. 

5. Alasan takut dan terancam : Di benak kalian terngiang “jika tidak ke gereja dosa lho”. Kalo ga ke gereja uang jajan dipotong, kalau tidak ke gereja dijewer atau diomelin ortu. Saya sakit, takut mati, ingin disembuhkan.


6. Alasan tempat layanan : Kalo mau beli bubur, di depot. Kalo mau beli sikat gigi, di mini market. Kalo mau memberi kolekte, ke gereja - diedarkan khusus hari minggu saja. Kalo mau diberkati, di hari minggu Pak Pendeta berkata "sekarang pulanglah dan terimalah berkat Tuhan"... di depot ga ada gitu-gitu.


Menurut saya, semua alasan diatas adalah benar.

Sekarang, yang menjadi pertanyaan adalah :

Jika semua alasan itu benar, tapi apakah MENURUT conscience-mu (kata hati) hal itu dibenarkan?

Mari kita berandai-andai sejenak,
Jika kamu kebutuhan psikologisnya terpenuhi, kebutuhan sosialmu terpenuhi, kebutuhan rohanimu terpenuhi, semua terpenuhi –
Keluargamu adalah Keluarga Sakinah, setiap hari ada persekutuan keluarga, setiap hari kamu sudah baca Alkitab, baca renungan... APAKAH KAMU MASIH KE GEREJA ?
Jika kamu dibebaskan oleh ortu memilih agama dan kepercayaan, APAKAH KAMU MASIH KE GEREJA ?
 

 Saya akan beri 2 buah ide, untuk kalian renungkan :

1. Secara logika dan akal sehat, jika kamu ingin membeli sesuatu (sepatu, laptop, mobil, hape) tentunya kamu akan mencari tahu produk apa saja yang ada di pasaran, nanti kita sesuaikan dengan budget, dan features" yang ada. Baru kita putuskan untuk membeli produk apa, merk apa, tipe apa - dimana belinya, ada garansinya ga, dll.

Begitu juga dengan iman dan kepercayaan kamu, apakah kamu pernah mencari tahu tentang "penawaran" dari agama lain? mengapa kamu yakin dengan agamamu sekarang? apa yang bikin kamu yakin memeluk agama Kristen? apa kamu pernah mempertanyakan ajaran Kristen?

Atau kamu berpikir, ah ga neko-neko, dari kakek-nenek, papa mama, Kristen kok, nanti pindah ajaran lain bisa diusir aku dari rumah... mau makan apa? (fear).

2. Secara logika, tentu jika ada suatu tempat yang menyenangkan kamu pasti kunjungi tempat itu terus kan? misalnya ke KF*, Mc.D*nalds, dll.
Nah, apa yang kamu sukai dari 'datang' ke gereja ? mengapa kamu tidak suka datang ke tempat ibadah kepercayaan lain, apa kamu pernah mencobanya? 

Coba renungkan dengan mengurutkan satu-satu, faktor apakah yang mempengaruhi jawabanmu mengenai 'suka' datang ke gereja?
- Apakah karena faktor teman (ada gebetan, temennya asik - ga nge'genk')
- Apakah karena ga menakutkan seperti di tempat ibadah lain, ada asap-asap, bahasa asing.
- Faktor kebutuhan rohani, kotbahnya bagus, kesempatan pelayanan ada, dll.


Ya, saya tidak ingin memprovokasi saudara/i untuk mempertanyakan mengenai suatu ajaran atau kepercayaan. Tetapi sebagai pertanyaan terakhir, saya akan tanya :

Jika pada akhirnya kamu memilih untuk tidak ke gereja (lebih parah lagi, tidak Kristen) apakah itu karena faktor :

A. Saya sudah menemukan 'panggilan hidup' di ajaran lain, menemukan ajaran yang terbaik menurut kesadaran saya sendiri, tanpa paksaan, mengenai jalan masuk sorga. Ataukah....

B. Saya pernah sakit hati (KEPAHITAN) dengan orang dari ajaran ini, jadi sebaiknya saya mencari ajaran lain - apa aja boleh.
Oke, rekan-rekan... sebagai pesan terakhir dari tulisan ini,
Jika kalian bingung menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, kemanakah kalian akan bertanya? sudah pasti benarkah orang yang menjadi rujukan pertanyaanmu? atau jika mencari tahu dari buku atau google, apakah kamu yakin mereka bukan menyesatkan?


Gereja, bisa jadi tidak berisi orang-orang yang sempurna. Pelayanannya juga tidak sempurna, apalagi bangunan fisiknya. 

Ajaran lain atau mungkin - gereja lain, juga kelihatannya sempurna, orangnya baik-baik (buahnya baik), punya pedoman hidup sehat, bijak dan bahagia, lebih pas dan cocok dengan kehidupanmu. 
Dibandingkan kamu di gereja mendengar khotbah, yang terkadang merasa 'rugi' datang ke gereja, karena ternyata tidak mendapat jawaban kegalauan hatimu. (motivasi ke gereja untuk mendapat jawaban/sumber informasi)

Tetapi sebelum bingungmu bertambah lagi, ingatlah yang dikatakan oleh Tuhan Yesus :

Kata Yesus kepadanya: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku. (
Yohanes 14:6)

dan ingatlah yang dikatakan dalam Ibrani 13 : 8-9
"Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya. Janganlah kamu disesatkan oleh berbagai-bagai ajaran asing."

dalam versi Bahasa Inggris (NLT) coba amati ayat ke-9 :
8 Jesus Christ is the same yesterday, today, and forever. 9 So do not be attracted by strange, new ideas. Your strength comes from God’s grace, not from rules about food, which don’t help those who follow them.

Pesannya adalah : Strange, new ideas - do not be attracted. 
Ajaran baru, ajaran aneh", jangan tertarik kepadanya.

Selamat merenungkan.....

#5


NB :
* Ko Febri, adalah mahasiswa praktek dari SAAT - Malang.












Senin, 09 November 2015

Anugerah



Beberapa tahun yang lalu waktu saya masih kelas 2 SMA dan ikut persekutuan di KR Tumapel, setiap sesi sharing hampir selalu diberikan pertanyaan yang sama setiap Sabtunya, “Apa berkat Tuhan yang kamu rasakan selama seminggu ini?” Pertanyaannya selalu seperti itu, sampai kami semua hafal. Tapi setiap kali waktunya sharing, selalu saja kami bingung apa yang ingin kami sharingkan. Akhirnya beberapa dari kami, tidak hanya waktu itu tapi beberapa kali, menjawab, “Saya bersyukur masih diberi hidup oleh Tuhan.”

Dulu waktu saya masih kelas 2 SMA dan belum mengerti apa-apa saya merasa hal itu lucu, dan saya meyakini hal itu juga. Kalau bukan anugerah Tuhan mungkin saya tidak berada di sana dan bersekutu sama teman-teman. Tapi sekarang, menginjak tingkat 2 kuliah, saya mulai bertanya-tanya. Dalam lagunya yang berjudul ‘Jangan Menyerah’, Rian, vokalis band d’Masiv menyatakan “Hidup adalah Anugerah.” Apakah benar hidup itu adalah anugerah yang harus kita syukuri?

Jawabannya tergantung bagaimana kita memaknai hidup itu.

Di dua artikel saya sebelumnya, saya menulis tentang  hits dan YOLO. Kalau kita hidup seperti itu, saya mengerti kenapa banyak yang bersyukur masih diberi hidup oleh Tuhan. Karena semakin lama hidup, semakin lama bisa pesta pora. Malah sekarang ada quote yang lebih ekstrim lagi, yaitu ‘live fast die young’. Karena kalau matinya waktu sudah tua, sudah tidak selincah dulu lagi sehingga tinggal lemah dan sakit-sakitan. Jadi nggak bahagia.

Padahal, di luar sana banyak orang yang tidak sebahagia kita. Kita bisa pergi makan sana-sini, main sana-sini, karaoke, senang-senang, pesta-pesta, tapi di sana kita ada banyak orang yang bisa kuliah aja sudah senang. Bahkan saya percaya, korban perang di Arab dan sekitarnya pasti sangat berterima kasih pada tuhan mereka kalau mereka bisa makan dan hidup layak. Sedangkan kita di sini yang bisa tidur di kasur empuk malah kalau pagi bukannya saat teduh malah buka medsos. Kita yang bisa sekolah di sekolah atau kampus favorit malah sering nggak niat sekolah atau titip absen.

Melihat fakta seperti itu, pantaskah kita masih menganggap hidup itu anugerah—untuk mencari kebahagiaan?

Kalau seandainya kita tidak pernah dilahirkan, kita tidak perlu hidup di dunia yang menyenangkan atau menyedihkan ini—tergantung bagaimana kita memaknainya. Kalau kita jadi orang mampu, kita pasti senang karena bisa bergelimang kemewahan. Tapi kalau kita dilahirkan di tengah bencana kelaparan di Afrika, kita pasti berpikir untuk “lebih baik mati saja” daripada hidup. Tapi seperti yang sudah saya tekankan dari awal, hidup itu cuma sebentar. Saya jadi teringat kisah Lazarus dan orang kaya. Lazarus si pengemis yang hidup menderita dalam kemiskinan akhirnya duduk di pangkuan Abraham, sementara orang kaya yang setiap hari bersukaria dalam kemewahan malah menderita siksa di alam maut dalam kekekalan.

Saya kok merasa nggak tega lihat rekan-rekan saya di café yang saya ceritakan waktu itu nggak bisa kuliah. Mereka kelihatan bahagia sih di sana, tapi waktu melihat anak kuliah mereka jadi minder. Apalagi kuliahnya di Brawijaya. Terjadilah pergolakan di hati saya. Apa Tuhan ‘membiarkan’ mereka seperti itu? Bisa saja Tuhan jatuhin uang dari surga terus mereka kuliah. Tapi kenapa Tuhan seakan tidak berbuat apa-apa? Katanya Tuhan itu kasih. Tapi kok seperti ini dibiarkan? Ini dalam skala mikro. Skala makronya, kenapa Tuhan membiarkan kelaparan di Afrika, perang di Arab, dan kemiskinan di banyak tempat di dunia ini? Apa Tuhan sudah tidak kasih lagi? Apa Tuhan sudah tidak peduli?

Tapi kemudian saya teringat sesuatu. Ya, posisi saya. Sebagai orang yang dianggap ‘mampu’, saya nggak bisa diam dan nggak berbuat apa-apa. Saya yakin Tuhan menciptakan kita orang Kristen di dunia tentu punya maksud. Kita jadi orang Kristen dan diselamatkan bukan karena perbuatan baik kita, tapi karena kita sudah dipilih dari awal sama Tuhan. Kalau memang sudah dipilih, kita pasti punya tugas. Dan melihat ketidakadilan dalam skala mikro, saya yakin kalau saya dilahirkan di dunia ini memang ada maksudnya. Mungkin terlalu muluk saya mengatakan ini, tapi saya pikir, Tuhan ingin saya berkontribusi mewujudkan keadilan di dunia dalam skala mikro. Mungkin di antara Anda nanti ada yang terpanggil untuk mewujudkan keadilan dalam skala makro, itu tergantung pada panggilan Anda masing-masing.

Yang ingin saya sampaikan di sini, alangkah baiknya kalau kita semua mulai meningkatkan kepedulian. Apa saja ketidakadilan yang terjadi di kiri dan kanan kita? Dan setelah kita menemukannya, apa yang bisa kita perbuat bagi mereka? Kalau sekarang kita mungkin masih kecil dan belum bisa apa-apa, tapi mungkin saat dewasa kita bisa melakukannya. Yang penting, sekarang kita meningkatkan kewaspadaan dan kepedulian terlebih dahulu.

Jadi, bagaimana? Apakah hidup itu sebuah anugerah?

Menurut saya, hidup itu berarti mengemban suatu tugas. Tugas untuk mewartakan Kerajaan Allah di dunia. Mewartakannya tidak harus berarti kita pergi ke padang gurun lalu berseru-seru di sana, tapi lebih ke melakukan tindakan nyata yang bisa mewujudkan Kerajaan Allah yang penuh kasih di dunia. Kalau kita bisa kuliah, kenapa tidak membantu mereka yang ingin kuliah tapi tidak mampu? Banyak sekali hal yang bisa kita lakukan untuk mereka yang di sekitar kita.

Sebuah ayat yang saya temukan yang mungkin sesuai dalam konteks kita saat ini adalah Filipi 1:21-26, yaitu surat yang ditulis Paulus ketika ia di penjara.

Ayat 21-24 mengatakan, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu. Aku didesak dari dua pihak, aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus—itu memang jauh lebih baik; tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu.







Yosi Lau

Minggu, 01 November 2015

YOLO



You Only Live Once. Kamu hanya hidup satu kali. Apa artinya?

Jargon ini sudah ramai diperbincangkan dan digunakan oleh orang banyak beberapa tahun terakhir. Tidak tahu asalnya dari mana, tapi faktanya ungkapan ini sering digunakan oleh remaja dan pemuda untuk membenarkan tindakan seperti party, hura-hura, hedonisme, free sex dan sebagainya. Alasannya, kamu hanya hidup sekali, jadi harus dinikmati.

Apa benar hidup cuma sekali? Memangnya setelah hidup ini, lalu mati, lalu semuanya selesai?

Di berbagai agama dan ajaran dijelaskan tentang adanya kehidupan setelah mati, misalnya reinkarnasi. Dalam pandangan saya sendiri sebagai orang Kristen yang pernah sekolah minggu,di sekolah minggu dulu sudah sering diajarkan konsep surga dan neraka.

Dari sudut pandang saya sebenarnya konsep YOLO itu bisa luas sekali, nggak hanya terbatas pada kehidupan pesta dan kebebasan. Artikel yang saya tuliskan ini masih berhubungan dengan tulisan saya sebelumnya tentang hits. Intinya hampir sama, yaitu mengejar kenikmatan dunia atau hedonisme.

Jaman sekarang orang berlomba-lomba jadi orang kaya supaya bisa pergi kesana-kemari, makan kesana kemari, mencoba café atau tempat makan yang terbaru, lalu dipamerkan di medsos supaya dianggap populer. Ingin juga travelling kesana-kemari supaya kalau ditanya orang, “sudah pernah ke tempat A?” “Sudah!” lalu merasa diri hebat atau dianggap hebat. Kalau belum pernah, dianggap kuper. Akhirnya orang yang ditanyai jadi minder lalu berusaha dengan berbagai macam cara untuk pergi ke tempat yang dimaksud atau mencoba makanan yang dimaksud. Lho, memangnya kenapa kalau nggak populer? Populer di dunia lho cuma sebentar. Jaman sekarang orang hidup paling lama sekitar 120 tahun, terus masuk surga yang notabene kekal.

Dalam hal pacaran dan mencari jodoh juga sama. Di masa sekarang, pacar juga bisa dimasukkan dalam kategori hedonisme. Karena orang yang punya pacar dianggap keren sementara orang yang tidak pacaran dianggap tidak laku. Hal ini sudah diterima luas, contohnya bisa dilihat dari banyaknya lelucon yang menjelek-jelekkan jomblo di Instagram. Santai aja. Jadi jomblo paling lama ya 120 tahun. Setelah itu kekal. Jadi, nggak masalah jadi jomblo atau nggak. Jomblo itu bukan kelemahan. Ini bukan pembelaan karena saya sendiri jomblo. Tapi orang jomblo atau tidak, punya pacar atau tidak, itu kalau tidak kehendak sendiri, ya kehendak Tuhan. Mengutip kata-kata dari seorang teman, ada orang yang memang dikehendaki Tuhan untuk hidup menyendiri supaya bisa lebih memuliakan nama Tuhan. Bukan berarti dengan kita punya pasangan lalu bisa lebih berguna bagi Tuhan. Seharusnya pacaran dimaknai sebagai sarana untuk bisa saling menolong dalam hidup untuk Tuhan. Kalau sendiri, berarti hidup untuk Tuhan dalam kesendiriannya. Karena semuanya untuk Tuhan, jadi tidak ada yang jelek.

Untuk apa mencari kesenangan yang hanya sementara? Hidup yang sekarang ini cuma sebentar. Kenapa bingung harus jadi orang kaya, harus kekinian, harus populer kalau nantinya semuanya bakal hilang dan dilanjutkan dengan kebahagiaan yang kekal di surga?

Dibandingkan mengejar yang seperti itu, kenapa kita nggak menghabiskan waktu kita yang cuma sebentar ini untuk lebih banyak melakukan hal-hal yang berkenan di hadapan Allah, misalnya memperbanyak saat teduh atau membantu teman yang kesusahan. Ini seperti investasi. Kalau kata teman saya, ibaratnya menanam bunga di surga. Dibandingkan jalan sana sini, update Instagram sana-sini, makan-makan, hangout yang hanya menyenangkan diri sendiri, kenapa nggak berusaha menolong teman yang hidupnya masih hedon untuk mengenal Tuhan lebih dekat?

Supaya tidak disalahartikan, saya tidak melarang seseorang untuk bersenang-senang. Senang itu hadiah dari Tuhan kalau kita sudah melakukan kehendak-Nya. Kalau kita capek, lelah setelah melakukan segala yang baik, nggak papa kita seneng. Kalau memang Tuhan melarang kita seneng, pasti hidup kita jadi orang Kristen itu menderita terus. Tapi perlu dicatat bahwa senang itu bukan prioritas. Itu cuma selingan. Atau bisa jadi hal yang membuat kita senang itu adalah satu alat yang diberikan pada kita oleh Tuhan untuk melakukan kehendak-Nya.

Ada seorang aktor Korea yang sekarang sedang berada di puncak karirnya. Pada saat ia belum terkenal, ia pernah berkata dalam sebuah wawancara yang intinya ia ingin menjadi terkenal supaya bisa menjadi contoh bagi orang lain dan pemikiran-pemikirannya bisa diperhatikan banyak orang. Sama seperti kita. Kita yang sekarang terkenal, hits, mempunyai tanggung jawab untuk menggunakan popularitas kita untuk memberitakan injil dan menjadi contoh bagi followers kita, supaya nama Allah semakin dipermuliakan. Bagi kita yang kaya, kekayaan itu bukan untuk ber-hedon tapi untuk membantu saudara yang berkekurangan.

Kembali ke YOLO, saya punya cara lain untuk memaknai istilah ini. Hidup kita ini cuma sekali di dunia, setelah itu kekal. Selama hidup di dunia yang cuma sekali ini, kita harus memaksimalkannya semaksimal mungkin, bukan untuk berhedon bersenang-senang mengejar hits atau populer tapi buat membantu orang lain. Karena cuma satu kali, kalau udah terlajur salah ya salah. Nggak bisa diulang. Karena itu jangan sampai kita sia-siakan. Mumpung masih muda, kita masih punya banyak tenaga, masih kuat. Ingat, Tuhan menciptakan kita ada maunya untuk menambah orang percaya dan melakukan kebaikan, bukan buat kita seneng-seneng. Nanti seneng-senengnya di surga lebih lama daripada seneng-seneng di dunia.







 Yosi Lau