Beberapa tahun yang lalu waktu saya masih kelas 2 SMA dan
ikut persekutuan di KR Tumapel, setiap sesi sharing hampir selalu diberikan
pertanyaan yang sama setiap Sabtunya, “Apa berkat Tuhan yang kamu rasakan
selama seminggu ini?” Pertanyaannya selalu seperti itu, sampai kami semua
hafal. Tapi setiap kali waktunya sharing, selalu saja kami bingung apa yang
ingin kami sharingkan. Akhirnya beberapa dari kami, tidak hanya waktu itu tapi
beberapa kali, menjawab, “Saya bersyukur masih diberi hidup oleh Tuhan.”
Dulu waktu saya masih kelas 2 SMA dan belum mengerti apa-apa
saya merasa hal itu lucu, dan saya meyakini hal itu juga. Kalau bukan
anugerah Tuhan mungkin saya tidak berada di sana dan bersekutu sama
teman-teman. Tapi sekarang, menginjak tingkat 2 kuliah, saya mulai
bertanya-tanya. Dalam lagunya yang berjudul ‘Jangan Menyerah’, Rian, vokalis
band d’Masiv menyatakan “Hidup adalah Anugerah.” Apakah benar hidup itu adalah
anugerah yang harus kita syukuri?
Jawabannya tergantung bagaimana kita memaknai hidup itu.
Di dua artikel saya sebelumnya, saya menulis tentang hits dan YOLO. Kalau kita hidup seperti itu,
saya mengerti kenapa banyak yang bersyukur masih diberi hidup oleh Tuhan.
Karena semakin lama hidup, semakin lama bisa pesta pora. Malah sekarang ada
quote yang lebih ekstrim lagi, yaitu ‘live fast die young’. Karena kalau
matinya waktu sudah tua, sudah tidak selincah dulu lagi sehingga tinggal lemah
dan sakit-sakitan. Jadi nggak bahagia.
Padahal, di luar sana banyak orang yang tidak sebahagia
kita. Kita bisa pergi makan sana-sini, main sana-sini, karaoke, senang-senang,
pesta-pesta, tapi di sana kita ada banyak orang yang bisa kuliah aja sudah senang. Bahkan saya percaya, korban perang di Arab dan sekitarnya pasti sangat
berterima kasih pada tuhan mereka kalau mereka bisa makan dan hidup layak.
Sedangkan kita di sini yang bisa tidur di kasur empuk malah kalau pagi bukannya
saat teduh malah buka medsos. Kita yang bisa sekolah di sekolah atau kampus
favorit malah sering nggak niat sekolah atau titip absen.
Melihat fakta seperti itu, pantaskah kita masih menganggap
hidup itu anugerah—untuk mencari kebahagiaan?
Kalau seandainya kita tidak pernah dilahirkan, kita tidak
perlu hidup di dunia yang menyenangkan atau menyedihkan ini—tergantung
bagaimana kita memaknainya. Kalau kita jadi orang mampu, kita pasti senang
karena bisa bergelimang kemewahan. Tapi kalau kita dilahirkan di tengah bencana
kelaparan di Afrika, kita pasti berpikir untuk “lebih baik mati saja” daripada
hidup. Tapi seperti yang sudah saya tekankan dari awal, hidup itu cuma
sebentar. Saya jadi teringat kisah Lazarus dan orang kaya. Lazarus si pengemis
yang hidup menderita dalam kemiskinan akhirnya duduk di pangkuan Abraham,
sementara orang kaya yang setiap hari bersukaria dalam kemewahan malah
menderita siksa di alam maut dalam kekekalan.
Saya kok merasa nggak tega lihat rekan-rekan saya di café
yang saya ceritakan waktu itu nggak bisa kuliah. Mereka kelihatan bahagia
sih di sana, tapi waktu melihat anak kuliah mereka jadi minder. Apalagi
kuliahnya di Brawijaya. Terjadilah pergolakan di hati saya. Apa Tuhan
‘membiarkan’ mereka seperti itu? Bisa saja Tuhan jatuhin uang dari surga terus
mereka kuliah. Tapi kenapa Tuhan seakan tidak berbuat apa-apa? Katanya Tuhan
itu kasih. Tapi kok seperti ini dibiarkan? Ini dalam skala mikro. Skala
makronya, kenapa Tuhan membiarkan kelaparan di Afrika, perang di Arab, dan
kemiskinan di banyak tempat di dunia ini? Apa Tuhan sudah tidak kasih lagi? Apa
Tuhan sudah tidak peduli?
Tapi kemudian saya teringat sesuatu. Ya, posisi saya.
Sebagai orang yang dianggap ‘mampu’, saya nggak bisa diam dan nggak berbuat
apa-apa. Saya yakin Tuhan menciptakan kita orang Kristen di dunia tentu punya
maksud. Kita jadi orang Kristen dan diselamatkan bukan karena perbuatan baik
kita, tapi karena kita sudah dipilih dari awal sama Tuhan. Kalau memang sudah
dipilih, kita pasti punya tugas. Dan melihat ketidakadilan dalam skala mikro,
saya yakin kalau saya dilahirkan di dunia ini memang ada maksudnya. Mungkin
terlalu muluk saya mengatakan ini, tapi saya pikir, Tuhan ingin saya
berkontribusi mewujudkan keadilan di dunia dalam skala mikro. Mungkin di antara
Anda nanti ada yang terpanggil untuk mewujudkan keadilan dalam skala makro, itu
tergantung pada panggilan Anda masing-masing.
Yang ingin saya sampaikan di sini, alangkah baiknya kalau
kita semua mulai meningkatkan kepedulian. Apa saja ketidakadilan yang terjadi
di kiri dan kanan kita? Dan setelah kita menemukannya, apa yang bisa kita
perbuat bagi mereka? Kalau sekarang kita mungkin masih kecil dan belum bisa
apa-apa, tapi mungkin saat dewasa kita bisa melakukannya. Yang penting,
sekarang kita meningkatkan kewaspadaan dan kepedulian terlebih dahulu.
Jadi, bagaimana? Apakah hidup itu sebuah anugerah?
Menurut saya, hidup itu berarti mengemban suatu tugas. Tugas
untuk mewartakan Kerajaan Allah di dunia. Mewartakannya tidak harus berarti kita
pergi ke padang gurun lalu berseru-seru di sana, tapi lebih ke melakukan
tindakan nyata yang bisa mewujudkan Kerajaan Allah yang penuh kasih di dunia.
Kalau kita bisa kuliah, kenapa tidak membantu mereka yang ingin kuliah tapi
tidak mampu? Banyak sekali hal yang bisa kita lakukan untuk mereka yang di
sekitar kita.
Sebuah ayat yang saya temukan yang mungkin sesuai dalam
konteks kita saat ini adalah Filipi 1:21-26, yaitu surat yang ditulis Paulus
ketika ia di penjara.
Ayat 21-24 mengatakan,
“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi
jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah.
Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu. Aku didesak dari dua pihak, aku
ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus—itu memang jauh lebih baik;
tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu.”
Yosi Lau

Tidak ada komentar:
Posting Komentar