Senin, 09 November 2015

Anugerah



Beberapa tahun yang lalu waktu saya masih kelas 2 SMA dan ikut persekutuan di KR Tumapel, setiap sesi sharing hampir selalu diberikan pertanyaan yang sama setiap Sabtunya, “Apa berkat Tuhan yang kamu rasakan selama seminggu ini?” Pertanyaannya selalu seperti itu, sampai kami semua hafal. Tapi setiap kali waktunya sharing, selalu saja kami bingung apa yang ingin kami sharingkan. Akhirnya beberapa dari kami, tidak hanya waktu itu tapi beberapa kali, menjawab, “Saya bersyukur masih diberi hidup oleh Tuhan.”

Dulu waktu saya masih kelas 2 SMA dan belum mengerti apa-apa saya merasa hal itu lucu, dan saya meyakini hal itu juga. Kalau bukan anugerah Tuhan mungkin saya tidak berada di sana dan bersekutu sama teman-teman. Tapi sekarang, menginjak tingkat 2 kuliah, saya mulai bertanya-tanya. Dalam lagunya yang berjudul ‘Jangan Menyerah’, Rian, vokalis band d’Masiv menyatakan “Hidup adalah Anugerah.” Apakah benar hidup itu adalah anugerah yang harus kita syukuri?

Jawabannya tergantung bagaimana kita memaknai hidup itu.

Di dua artikel saya sebelumnya, saya menulis tentang  hits dan YOLO. Kalau kita hidup seperti itu, saya mengerti kenapa banyak yang bersyukur masih diberi hidup oleh Tuhan. Karena semakin lama hidup, semakin lama bisa pesta pora. Malah sekarang ada quote yang lebih ekstrim lagi, yaitu ‘live fast die young’. Karena kalau matinya waktu sudah tua, sudah tidak selincah dulu lagi sehingga tinggal lemah dan sakit-sakitan. Jadi nggak bahagia.

Padahal, di luar sana banyak orang yang tidak sebahagia kita. Kita bisa pergi makan sana-sini, main sana-sini, karaoke, senang-senang, pesta-pesta, tapi di sana kita ada banyak orang yang bisa kuliah aja sudah senang. Bahkan saya percaya, korban perang di Arab dan sekitarnya pasti sangat berterima kasih pada tuhan mereka kalau mereka bisa makan dan hidup layak. Sedangkan kita di sini yang bisa tidur di kasur empuk malah kalau pagi bukannya saat teduh malah buka medsos. Kita yang bisa sekolah di sekolah atau kampus favorit malah sering nggak niat sekolah atau titip absen.

Melihat fakta seperti itu, pantaskah kita masih menganggap hidup itu anugerah—untuk mencari kebahagiaan?

Kalau seandainya kita tidak pernah dilahirkan, kita tidak perlu hidup di dunia yang menyenangkan atau menyedihkan ini—tergantung bagaimana kita memaknainya. Kalau kita jadi orang mampu, kita pasti senang karena bisa bergelimang kemewahan. Tapi kalau kita dilahirkan di tengah bencana kelaparan di Afrika, kita pasti berpikir untuk “lebih baik mati saja” daripada hidup. Tapi seperti yang sudah saya tekankan dari awal, hidup itu cuma sebentar. Saya jadi teringat kisah Lazarus dan orang kaya. Lazarus si pengemis yang hidup menderita dalam kemiskinan akhirnya duduk di pangkuan Abraham, sementara orang kaya yang setiap hari bersukaria dalam kemewahan malah menderita siksa di alam maut dalam kekekalan.

Saya kok merasa nggak tega lihat rekan-rekan saya di cafĂ© yang saya ceritakan waktu itu nggak bisa kuliah. Mereka kelihatan bahagia sih di sana, tapi waktu melihat anak kuliah mereka jadi minder. Apalagi kuliahnya di Brawijaya. Terjadilah pergolakan di hati saya. Apa Tuhan ‘membiarkan’ mereka seperti itu? Bisa saja Tuhan jatuhin uang dari surga terus mereka kuliah. Tapi kenapa Tuhan seakan tidak berbuat apa-apa? Katanya Tuhan itu kasih. Tapi kok seperti ini dibiarkan? Ini dalam skala mikro. Skala makronya, kenapa Tuhan membiarkan kelaparan di Afrika, perang di Arab, dan kemiskinan di banyak tempat di dunia ini? Apa Tuhan sudah tidak kasih lagi? Apa Tuhan sudah tidak peduli?

Tapi kemudian saya teringat sesuatu. Ya, posisi saya. Sebagai orang yang dianggap ‘mampu’, saya nggak bisa diam dan nggak berbuat apa-apa. Saya yakin Tuhan menciptakan kita orang Kristen di dunia tentu punya maksud. Kita jadi orang Kristen dan diselamatkan bukan karena perbuatan baik kita, tapi karena kita sudah dipilih dari awal sama Tuhan. Kalau memang sudah dipilih, kita pasti punya tugas. Dan melihat ketidakadilan dalam skala mikro, saya yakin kalau saya dilahirkan di dunia ini memang ada maksudnya. Mungkin terlalu muluk saya mengatakan ini, tapi saya pikir, Tuhan ingin saya berkontribusi mewujudkan keadilan di dunia dalam skala mikro. Mungkin di antara Anda nanti ada yang terpanggil untuk mewujudkan keadilan dalam skala makro, itu tergantung pada panggilan Anda masing-masing.

Yang ingin saya sampaikan di sini, alangkah baiknya kalau kita semua mulai meningkatkan kepedulian. Apa saja ketidakadilan yang terjadi di kiri dan kanan kita? Dan setelah kita menemukannya, apa yang bisa kita perbuat bagi mereka? Kalau sekarang kita mungkin masih kecil dan belum bisa apa-apa, tapi mungkin saat dewasa kita bisa melakukannya. Yang penting, sekarang kita meningkatkan kewaspadaan dan kepedulian terlebih dahulu.

Jadi, bagaimana? Apakah hidup itu sebuah anugerah?

Menurut saya, hidup itu berarti mengemban suatu tugas. Tugas untuk mewartakan Kerajaan Allah di dunia. Mewartakannya tidak harus berarti kita pergi ke padang gurun lalu berseru-seru di sana, tapi lebih ke melakukan tindakan nyata yang bisa mewujudkan Kerajaan Allah yang penuh kasih di dunia. Kalau kita bisa kuliah, kenapa tidak membantu mereka yang ingin kuliah tapi tidak mampu? Banyak sekali hal yang bisa kita lakukan untuk mereka yang di sekitar kita.

Sebuah ayat yang saya temukan yang mungkin sesuai dalam konteks kita saat ini adalah Filipi 1:21-26, yaitu surat yang ditulis Paulus ketika ia di penjara.

Ayat 21-24 mengatakan, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu. Aku didesak dari dua pihak, aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus—itu memang jauh lebih baik; tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu.







Yosi Lau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar