Akhir-akhir ini semakin banyak akun-akun di medsos yang
menggunakan kata ‘hits’ di belakangnya. Sebut saja ftpubhits, salah satu akun Instagram
yang me-repost foto-foto unggahan kakak
kakak yang dianggap cantik atau tampan di FTP UB. Selain FTP UB ada juga UB
Sosialita di LINE yang cakupannya lebih luas yaitu seluruh UB.
Akun semacam ini mulai menjamur seingat saya saat saya mulai
masuk UB, kurang lebih sekitar setahun yang lalu. Nggak tahu dari mana, kok
tiba-tiba banyak sekali. Sebetulnya memang akun semacam itu hanya untuk
lucu-lucuan saja, tidak mengukur apakah seseorang yang direpost memang hits
atau tidak. Toh nggak ada tolak ukur yang mengatakan seseorang itu harus hits
atau nggak. Tapi coba kita preteli satu-satu
lalu kita kritisi.
Menurut Cambridge
Advanced Learners’ Dictionary, hits atau hit dalam bahasa Inggris diartikan
sebagai “sesuatu atau seseorang yang sangat populer atau sukses”. Populer
sendiri di kamus yang sama diartikan sebagai “disukai, dinikmati, dan didukung
oleh banyak orang”. Artinya, kalau semisal saya disebut hits, berarti saya “sangat
disukai, dinikmati, dan didukung oleh banyak orang” dan sangat sukses.
Sukses di era kapitalisme—kalau saya boleh bilang, mengingat
saya masih mahasiswa yang belum tahu apa-apa, tapi dengan kemampuan terbatas
yang saya tafsirkan sendiri—seringkali diasosiasikan dengan keberhasilan
mendapatkan banyak uang. Orang kaya, kalau kata parodi di TV. Tahu dari mana
seseorang itu kaya? Ya lihat saja barang-barangnya. Baju mahal yang selalu
ganti, sepatu merek, smartphone canggih, mobil mewah. Kadang orang berpikiran
kalau orang kaya itu harus seperti itu. Selama ini memang orang kaya itu
stereotipnya seperti itu. Tapi tahukah anda, sisi lain dari orang yang dianggap
kaya?
Berdasarkan pengalaman saya bekerja di sebuah kafe di
Malang, terlihat bahwa ternyata orang yang merasa dirinya biasa saja, ternyata
bagi sebagian orang lain itu termasuk golongan kaya. Bayangkan. Di salah satu
sudut di kota Malang—dan menurut saya tidak hanya satu tapi sebenarya banyak
hanya nggak terekspos—ada sekelompok orang dengan tingkat pendidikan rendah
yang berpikir untuk kuliah saja tidak. Jadi setelah lulus SMA (tentunya bukan
SMA favorit), mereka langsung berpikir untuk kerja demi menghidupi diri dan
keluarga. Beberapa teman yang saya kenal ternyata juga mengalami hal yang sama.
Tidak terpikir sama sekali untuk bisa kuliah. Bagi mereka, kuliah itu untuk
orang kaya. Mereka orang biasa, jadi nggak perlu kuliah. Padahal kalau
dihitung-hitung, jumlah mahasiswa di kota Malang dengan orang usia mahasiswa yang
tidak kuliah, kira-kira lebih banyak mana? Sebagai perkiraan, waktu saya masih
Maba (mahasiswa baru), jumlah orang yang diterima di kampus UB angkatan 2014 sebanyak
11.000 orang, itu pembulatan ke bawah. Tahun ini angkatan 2015 yang diterima
ada 13.000 orang. Jika dibandingkan mereka yang menyebut orang kuliah sebagai ‘orang
kaya’, berarti banyak sekali orang kaya di Kota Malang. Sementara anak kuliah
sendiri, banyak dagelan yang mengatakan anak kuliah itu miskin, cuma bisa makan
enak waktu awal bulan terus akhir bulan nyemil promag.
Ada satu ironi lagi. Suatu sore saya berbincang dengan
teman-teman waitress di beranda kafe. Waktu itu mereka menggosipkan tetangga salah
satu dari mereka yang sama-sama ‘orang biasa’ tapi punya pacar yang naik avansa.
Dan mereka semua terkagum-kagum kenapa bisa si orang biasa dapet pacar kaya
yang punya mobil. Well, kalau saya sendiri—dan sebagian besar dari kita yang
membaca tulisan ini—akan berpikir kalau avansa itu mobil yang harganya biasa
saja. Dan berdasarkan survey sederhana, beberapa teman memiliki 2 atau 3 mobil
dan mereka merasa hal itu normal. Kaya itu kalau mobilnya maserati, lamborgini,
dan punya lebih dari 5. Jujur saya terkejut sekali waktu mendengar itu. Kok
bisa sih mereka berpikir orang punya avansa itu kaya? Ini mereka yang (maaf) miskin
atau teman-teman saya yang kaya? Waktu itu saya langsung nggak enak. Soalnya
waktu awal-awal saya kerja di sana, tiap malem saya dijemput naik sedan.
Kalau di era modernisasi globalisasi dan iptek seperti
sekarang, yang namanya kaya itu nggak harus dilihat dari mobilnya avansa atau
maserati. Kalau di awal saya bicara soal sosmed, mari kita tinjau dari sisi
sosmed. Jaman sekarang lawakannya, pergi kafe mahal terus pesen es teh, foto,
terus pulang. Gunanya apa? Supaya eksis? Supaya kelihatan, “oh dia udah pernah
nyoba kafe ini, berarti dia gak ketinggalan jaman.” Kalaupun beneran mau makan,
esensinya sama kok. Supaya kelihatan kekinian dan nggak ketinggalan tren.
Apalagi kalau fotonya pake tongsis sama superwide. Beuhh, kekinian banget. Hits
banget. Info: ini saya sekaligus nulis refleksi juga.
Kalau udah foto, langsung deh unggah. Jaman sekarang
orang-orang pakai macam-macam medsos biar hits juga. Nggak cukup punya IG,
waktu muncul yang namanya 17 (yang menurut saya sama saja dengan IG jadi nggak
saya install) langsung deh orang-orang pada berlomba-lomba menginstall trus
update status, “17: yosics” seperti itu. Sedunia langsung bisa lihat betapa
kekiniannya si ‘yosics’ yang foto di kafe terbaru terus ngasih like berupa
bentuk hati. Nah di sini ada lagi fenomena yang saya amati yang menurut saya
unik juga.
Kembali ke bahasan awal soal etimologi hits yang “sangat
disukai dan didukung banyak orang”, kadang orang (bahkan saya sendiri, sebelum
saya sadar dan menulis ini) mengukur popularitas berdasarkan jumlah like yang
didapat. Fenomenanya di sini, ada yang namanya follow for follow, like for
like, bahkan spam like yang buat saya aneh juga soalnya jaman saya dulu kok
nggak ada. Jadi merasa tua heheh. Di sini, semisal ada akun IG yang namanya
yosics, si yosics ini memfollow banyak orang dan difollback (follow back).
Kadang orang yang saling memfollow ini nggak saling kenal. Pernah suatu hari tiba-tiba
4 orang yang nggak pernah kenalan sama saya tiba-tiba follow akun IG saya dan
setelah diusut ternyata ada yang anak sekolah lain yang karena ngelihat saya
komen di IGnya teman saya yang sekolah di sekolah yang sama jadi follow saya. Ada
juga yang ternyata adiknya teman saya tapi saya nggak kenal. Sisanya yang 2
lagi, sampai sekarang saya nggak tahu. Waktu saya follback, mereka langsung
spam like, artinya mereka me-like foto-foto lama yang saya upload. Kalau saya
upload foto, 4 orang ini bakal nge-like foto saya. Aneh juga, padahal
sebenarnya foto yang saya upload nggak jelas dan nggak ada sangkut-pautnya sama
mereka, kok di-like ya. Seolah-olah mereka nggak peduli sama isi fotonya,
pokoknya karena sudah difollback jadinya sebagai tanda terima kasih ya dilike.
Kalau nggak difollback, diunfollow. Hmm. Leh
ugha, kata anak kekinian, artinya ‘boleh juga’. Metode seperti ini jadinya
bisa meningkatkan jumlah like dengan sangat drastis. Hukumnya, jumlah followers
relatif berbanding lurus sama jumlah like. Dari pengamatan singkat minimal 10%
followers melike foto kita. Jadi bayangkan kalau ada orang yang followersnya
mencapai 1000, sekurang-kurangnya ada 100 orang yang bakal melike fotonya. Amazing
sekali bukan? Terpenuhilah kriteria anak hits yang “sangat disukai dan didukung
banyak orang”.
Problematika muncul ketika seseorang jadi pengejar
kehits-an. Supaya bisa hits, jadi mereka harus 1. Kaya, 2. Punya banyak like di
medsos. Kalau nggak kaya (yang notabene relatif) dan nggak banyak like, jadi
nggak hits. Terus, apa masalahnya jadi orang nggak hits? Dihina? Dicemooh
dicaci maki? Merasa kurang diterima di masyarakat? Ngerasa nggak kekinian? Apa
nilai manusia sekarang cuma diukur berdasarkan kekayaan dan jumlah like? Kalau
benar seperti itu, kayaknya dunia sekarang emang beneran aneh.
Selama sebulan bekerja di kafe, saya merasa ada gap antara saya dan teman-teman waitress
di sana. Pertama, karena saya anak kuliah. Kedua, karena saya naik sedan.
Ketiga, karena HP saya ukurannya paling besar dibandingkan HP teman-teman.
Rasanya jadi ‘orang kaya’ di tengah kumpulan orang biasa, itu benar-benar
canggung. Jadi susah membaur karena sungkan. Nggak tahu sih dari mereka masalah
atau enggak, tapi dari saya sendiri rasanya nggak enak kalau mau nimbrung sama
mereka. Bukannya sombong tapi nggak enak aja. Kok saya jadi beda sendiri. Ujung-ujungnya
saya jadi mati kutu dan nggak banyak ngomong. Lain halnya kalau saya hangout sama temen-temen kampus. Kita
bisa ngakak bareng, selfie-selfie bareng, dan ngobrol seputar mata kuliah ini
itu yang kita semua sama-sama nggak paham, terus ngerasani dosennya. Lain lagi kalau saya main sama temen-temen saya
yang suka sekali nyoba kafe dan nonton film terbaru di bioskop. Sebagai
mahasiswa yang identik dengan anak kos (meski nggak ngekos), dompet saya nggak
kuat kalau harus makan seperti itu dan nonton terus. Terasa banget ada kelas
sosial di sini. Sistem kasta mungkin udah nggak ada, tapi kalau diamati dengan
teliti sebenarnya ada lho kasta itu meskipun garisnya nggak kasat mata. Sedih
juga kenapa di tanah air yang sama, bangsa yang sama, bahasa yang sama, kok
harus terpisah seperti itu cuma gara-gara kekayaan? Kenapa nggak bisa kita
sama-sama main bareng, ketawa bareng, dan kalau bisa, kuliah bareng juga? Saya pribadi
sedih ngelihat temen-temen yang sampe nggak mikir kuliah. Kasihan, padahal
mereka punya hak buat jadi orang intelektual dan jadi agents of change. Kalau kendalanya di kekurangan pegawai buat di
toko atau kafe, di luar negeri seperti Jepang dan Australia kafe-kafe itu
mempekerjakan anak kuliahan buat jadi part-timer. Jadi mereka nggak kekurangan
pegawai dan anak-anak usia mahasiswa tetap bisa kuliah bahkan sambil kerja juga.
Hal ini nggak jauh beda sama urusan medsos. Anak-anak yang
likenya di medsos banyak jadi secara nggak sadar ada kecenderungan buat pamer
dan upload terus. Toh se-nggak jelas apapun fotonya tetep likenya banyak kok.
Sekarang semisal saya upload foto pake sandal jepit di pantai, sama Chelsea
Olivia upload foto yang sama dengan sandal jepit yang sama di pantai yang sama,
pasti udah ketebak siapa yang jumlah likenya lebih banyak. Itu contoh ekstrem,
tapi itulah yang ada di pikiran orang-orang yang likenya sedikit terus
mbandingin sama temen sekolah yang likenya nyampe 100an. Saya tahu soalnya saya
pernah ngalami sendiri. “Kok like saya nggak sebanyak dia ya? Apa karena dia
lebih populer dari saya? Apa karena dia lebih kaya? Apa karena…” alasannya bisa
banyak banget dan macem-macem. Jadinya saya ngerasa, “Ah, saya nggak hits”
terus jadi down tanpa alasan jelas. Orang dewasa mungkin nggak ngalamin, tapi
kalau ababil usia sekolah apalagi SMP-SMA pasti ngganggep hits itu udah jadi kebutuhan
pokok ngalahin nasi. Buat anak kuliah, biarin nggak punya paket internet yang
penting perut kenyang. Kalaupun upload foto ya buat upload-uploadan aja soalnya
lagi pingin. Tapi ya nggak tahu lagi kalau ternyata masih ada orang dewasa yang
berpikir seperti ini.
Saya nulis ini sambil berefleksi juga. Kadang masih ada juga
pikiran seperti ini, tapi syukur pada Tuhan sekarang sudah banyak berkurang. Bagian
Alkitab yang menyadarkan dan jadi pegangan saya dari Roma 7:15-26, 8:1-39.
Panjang, tapi penting banget dan harus dibaca dari awal sampai habis. Setelah
direnungkan dan dipergumulkan, saya jadi tahu kalau mengejar ke-hits-an itu
nggak ada gunanya. Salah satu bagian yang pingin saya highlight di sini yaitu Roma 8:18.
“Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat
dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita”
Emang kalau kita nggak jadi anak hits, nggak kaya, mungkin
ngerasa dicemooh, nggak diterima, nggak asik, dan lain-lain. Tapi ingat kalau
hidup itu cuma sebentar dan cuma sekali, bro sis. YOLO. Soal YOLO kapan-kapan
pingin saya ulas yang agak mendalam. Singkatnya, hidup yang cuma sebentar ini
nanti bakal tergantikan sama kemuliaan. Di surga yang nggak ada lagi orang kaya
orang miskin, orang eksis maupun kurang gaul, hits dan nggak hits. Semua bakal
sama, setara. Imbang. Jadi, buat apa mengejar yang cuma sementara? Populer di
dunia tapi nggak di akherat? Kalau saya sih mending bahagia akherat daripada
bahagia cuma sebentar. Percuma. Sama aja kayak orang di-PHP. Awalnya doang
seneng, terus terakhirnya nangis-nangis. Pertamanya “I will forever stay by
your side” terakhirnya “Don’t you dare ever see me again”.
Jadi guys, girls, bro, sis, masihkah kita mau menjadi pengejar
ke-hits-an? :)
Yosi Lau